Suatu siang, setelah jam pelajaran sekolah selesai. Beberapa siswa yang memang sengaja belum ingin pulang ke rumah, duduk santai di depan teras sekolah. Entah karena suasana di rumah membosankan atau karena mereka masih ingin bermain di sekolah.
Cuaca siang itu mendung diiiringi angin yang bertiup cukup kencang, pohon-pohon di sekitar sekolah ‘terpaksa’ menjatuhkan daun-daunnya yang menyerah tertiup angin. Daun-daun itu banyak jatuh di sekitar halaman seolah sengaja ingin menambah beban kerja penjaga sekolah.
Berhubung saya sudah nggak ada kerjaan dan menunggu jam kerja selesai masih sekitar dua jam lagi. Saya iseng-iseng ikut duduk lesehan di teras bersama empat anak kelas enam yang masih sibuk bermain stik es krim.
Permainan ini belakangan cukup populer di kalangan anak sekolah. Banyak anak yang berangkat ke sekolah sengaja membawa puluhan stik di tasnya, tapi lupa membawa tugas pekerjaan rumahnya. Mereka memang lebih mudah mengingat cara bermain stik dibanding mengingat membawa tugas rumah ke sekolah.
Cara bermain stik ini cukup sederhana, dua anak saling berhadapan masing-masing dengan stik andalannya. Biasanya sih, stik andalannya ini ditempelin stiker atau digambarin macam-macam. Entah untuk menambah kekuatan agar lebih mudah menang, atau sekedar biar terlihat keren. Sementara mudah menang atau nggaknya urusan belakangan.
Kemudian, masing-masing stik diletakkan di lantai, kedua anak tersebut suit dulu buat menentukan urutan permainannya. Setelah itu, stik yang di lantai ditepuk dengan menggunakan kedua tangan biar terdorong maju karena angin yang dihasilkan dari tangan yang ditepuk ke lantai. Nantinya, yang berhasil menindih stik lawan berarti dia yang menang. Lawan harus memberi stik untuk bayarannya.
Melihat keempat anak yang masih pada betah di sekolah ini membuat saya jadi kepikiran, “Padahal suasananya sudah pas banget buat pulang ke rumah, lalu rebahan. Tapi anak-anak ini malah dengan senang hati justru pada mainan di sekolah”, Pemikiran orang yang sudah dewasa dan anak-anak memang berbeda sekali.
“Eh, kalian kok belum pada pulang? Bentar lagi hujan loh...” Saya menegur mereka yang masih asyik bermain.
“Nggak apa-apa, Pak! Kalau hujan tinggal hujan-hujanan pulangnya.” Kata Bayu, anak berbadan cukup tambun dengan rambut belah pinggir, menjawab sambil tetap fokus pada permainan stiknya.
“Iya, Pak! Nanggung ini, lagi seru!” Rian, yang sedang berhadapan dengan Bayu ikut menambahkan.
“Lah emangnya kalian jam segini nggak pada laper?”
“Gampang Pak, nanti pulang tinggal bikin mie instant!” Sambil menepuk stiknya, Bayu menjawab sekenanya.
“Eh, jangan keseringan makan mie instant loh, nggak baik. Anaknya temennya Pak Edot keseringan makan mie tuh, jadi masuk rumah sakit!” Saya mengingatkan mereka.
“Ah! Masa sih, Pak! Padahal kan mie instant enak, Pak.”
“Dih, nggak percaya. Nih, tak ceritain, ya.” Saya membalikkan badan menghadap mereka.
Anak-anak mulai tertarik dengan pembahasan mie instant yang tidak sehat. Sementara langit semakin gelap, gerimis mulai turun, hawa semakin dingin dan saya menelan ludah. Ngomongin mie instant membuat saya membayangkan nikmatnya mie instant rebus dengan paket lengkap di atasnya. Apalagi kalau dinikmati pas cuaca gerimis seperti ini.
“Nih, ya... dulu temennya Pak Edot punya anak, umur tiga tahun. Anaknya ini nggak mau makan kalau bukan mie. Dikasih nasi nggak mau, dikasih bubur nggak mau, dikasih uang seratus ribu buat beli mie juga nggak mau! Pokoknya mie!”
“Lah, masa dikasih uang nggak mau!”
“Ah, kalau aku sih langsung mau, uangnya buat beli kuota internet! Bisa main FF sepuasnya!” Bayu antusias menyebutkan game smartphone favoritnya.
“Ya namanya saja anak umur tiga tahun, kan. Belum ngerti uang, berhitung saja masih suka ngasal!” Rian membela saya.
“Jadi karena makannya mie terus, suatu hari anak ini nangis seharian. Orangtuanya kan khawatir, akhirnya dibawa ke rumah sakit. Setelah dicek ternyata lambungnya bermasalah karena keseringan makan mie. Dua hari kemudian, akhirnya anaknya meninggal.”
“Lah kok ngeri, Pak!”
“Ah, Pak Edot sengaja nakut-nakutin!”
“Ini benerah, loh ya.. Tahu nggak, Pak Edot dulu juga suka makan mie instant pas kuliah, akhirnya malah jadi sakit tipes, mesti dirawat di rumah sakit semingguan.”
Tiba-tiba anak kurus bernama Ilham yang seragamnya sudah mulai kekecilan ini nyeletuk, “Lah, kok Pak Edot nggak mati? Kan sering makan mie!”
Saya sempet kesel tapi ketawa juga, kesel karena anak ini bilangnya ‘mati’, bukan ‘meninggal’. Kata yang lebih sopan buat diucapkan ke orang yang lebih tua. Walaupun ya tetap saja nggak sopan tanya kenapa saya nggak meninggal juga pas sakit tipes?
“Tapi tetap aja, sakit. Nggak enak pokoknya!” Saya menegaskan.
Gerimis mulai berubah menjadi hujan deras, anak-anak yang duduk di bawah mulai berbinar-binar menatap air yang berbondong-bondong jatuh dari atas langit.
“Eh, hujannya deras nih, pulang yuk!” Bayu ngajakin teman-temannya.
“Ayok, ah... gassss” Rian tidak sabar memasukkan stik ke dalam tasnya.
Tanpa memedulikan saya yang pengen jitak anak bernama Ilham. Mereka buru-buru memasukkan mainan stiknya lalu segera minta salaman ke saya. Mereka berlari ke derasnya hujan. Sepertinya mereka lupa, di dalam tasnya ada buku pelajaran yang bisa saja kebasahan.
Melihat langkah mereka yang semakin jauh, saya jadi berpikir, semakin dewasa hidup memang semakin mudah merasa takut dengan hal-hal yang sebenarnya nggak perlu ditakutkan. Seperti saya, atau orang dewasa lainnya ketika melihat hujan. Kami lebih memilih untuk berteduh, daripada bersenang-senang menerobos hujan seperti anak-anak tadi.
Saya membayangkan, setelah sampai rumah, mereka pasti segera merebus mie instant tanpa peduli dengan cerita saya. Tanpa sadar, saya menelan ludah.
Tulisan ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris dan dimuat di website www.thisissoutheastasia.com dengan judul:
4 Komentar
Iya sih mas, jadi inget dulu pas SMP kls 3, aku dan temen2 malah seneng pulang kehujanan 🤣🤣. Padahal ada payung, boro2 dipake. Makin deres, makin girang 😂😂. Kalo skr, amit2 dah. Basah dikit aja udh ngomel hahahaha..
BalasHapusAnak2 skr susah sih kalo ditakutin. Walopun ceritanya bener.
Anakku suka banget manis. Jadi aku yg hrs nasehatin apa kekurangan gula buat tubuh. Kalo udh kena diabet kan yg susah mereka juga. Jadi ga mungkin makan enak seumur hidup.
Iya ya mbak, dulu kayaknya kalo ujan pasti bakalan milih ujan-ujanan 😄
HapusBahkan pas ujan di sekolah aja suka ujan-ujanan tipis-tipis.
Sekarang kayaknya ngeliat ujan bawaannya harus neduh banget 😁
Nah ini juga sama, anakku juga suka banget sama manis2, tapi dibilangin juga ya.. gitu, susaah
Kunjungan pertama, salam kenal mas Edot. Kenangan banget pulang kehujanan itu. Wah, ilustrasi blog ini bagus-bagus, jadi enak baca-baca ceritanya. Apakah mas Edot yang membuatnya sendiri, kalau boleh tahu dengan aplikasi apa ya?
BalasHapusHalo Mbak fairly, salam kenal juga ya...
HapusIni saya pake AI mbak bikin di canva, sengaja tak bikin ulang ilustrasinya sampe ke yang dulu-dulu biar seragam😁