Minggu lalu, entah dari mana datangnya tiba-tiba muncul seekor kucing dengan membawa dua ekor anaknya yang masih kecil-kecil masuk ke kantor. Tanpa merasa bersalah udah masuk nggak pake permisi, kucing ini langsung gegoleran santai meskipun di tempat asing dan cuek aja anak-anaknya pada nggak punya akhlak lari kesana kesini mainan seenaknya sendiri.
Saya udah suudzon aja kalau anak-anak ini pasti hasil hubungan di luar nikah dan bapaknya nggak mau tanggung jawab, atau kalau dugaan saya salah.. mungkin sekarang bapaknya lagi kerja cari nafkah merantau di ibukota sambil hidup sederhana demi bisa ngirim jatah bulanan ke kampung.
Guru-guru di kantor yang lagi gabut terlihat saling beradu suudzon tentang asal-usul kucing yang ujung-ujungnya meminta saya, yang terlihat cowok sendiri untuk memindahkan kucing-kucing ini keluar kantor.
Ibu-ibu ini ngerasa was-was, takut nggak sengaja nginjek kucing yang suka nelusup-nelusup ke kolong meja, khawatir kucing ini bakalan naik meja ngambil makanan yang ada di atas meja, sampai khawatir kalau kucing-kucing ini bakalan eek di bawah meja.
Saya yang lagi mager tentu saja mencoba cuci tangan dari masalah ini agar tidak perlu menurunkan tangan untuk menangkap anak-anak kucing yang lincah kesana kemari. Saya khawatir pas nyoba nangkep kucing jadi ngerasa antusias, lalu saking antusiasnya ngejar malah jadi nyundul meja guru lain.
Pas lagi mikirin strategi untuk cuci tangan dari masalah, tiba-tiba ada anak kelas enam masuk nganterin kotak infaq ke kantor. Seolah dipermudah oleh semesta, salah satu anak bernama Zizah nyeletuk, “Ih, ada kucing.. kucingnya lucu.”
Ahaaaa~~~
Saya yang melihat peluang cuci tangan di depan mata langsung nawarin, “Zah, suka kucing ya? Sana kucingnya diambil aja, dibawa pulang buat dipelihara di rumah.”
“Ah, nggak Pak. Afri tuh, Pak. Biasanya suka kucing.” Kata Zizah sambil promosiin teman sekelasnya yang mungkin saat itu sedang sibuk mainan stik.
“Yaudah dibawa aja dulu nggak apa-apa, kasih ke Afri.”
“Emang boleh, Pak? Taruh kelas dulu ya?”
“Iya, boleh.. ambil aja nggak apa-apa~”
Dengan sedikit grogi karena Zizah sedang berkeliaran di kantor, tanpa perlu bertindak represif Zizah berhasil menangkap dua anak kucing yang enerjik ini. Selang beberapa menit kemudian, berita hadirnya kucing di kantor udah tersebar di kalangan kelas enam. Terbukti dalam waktu sesaat Afri masuk ke kantor buat nangkep emaknya kucing.
Setelah jam istirahat selesai, ketika saya masuk ke kelas enam. Anak-anak udah pada asyik mainan sama kucing-kucing ini. Bahkan mereka sigap menutup pintu kelas setelah saya masuk agar kucingnya nggak keluar.
Mereka mulai mengajukan diri untuk merawat kucing ini secara gotong royong. Mereka berjanji akan sungguh-sungguh menjaga kucing-kucing ini. Saya yang menganggap ini adalah sesuatu yang wajar (namanya juga anak-anak) dan berpikir mereka bisa belajar tanggung jawab dan menyayangi hewan ini, mengiyakan keinginan mereka untuk merawat kucing di kelas enam.
Hari-hari berikutnya, terlihat tidak ada masalah. Bahkan beberapa dari mereka ada yang niat banget bawa makanan kucing dari rumah terus nyediain minum juga buat kucing di dalam kelas. Kalau waktunya jam istirahat, mereka pada mainan sama kucing-kucing ini.
Semua terasa indah… namun tentu saja, keindahan cerita anak-anak dengan kucing tidak berlangsung lama.
Sampai pada suatu Senin pagi, saya masuk kelas dengan santai kemudian duduk seperti biasa di meja guru. Beberapa saat kemudian, saya merasa ada yang aneh… saya mencium aroma sesuatu yang tidak asing. Aroma pesing yang familiar.
Saya langsung melakukan hipotesis, menganggap kemungkinan terbesar aroma ini disebabkan oleh tikus sawah yang emang biasa ninggalin oleh-oleh kotoran di sudut-sudut lemari karena sekolah saya emang sebelahan sama sawah.
Saya menganggap ini sesuatu yang wajar, nanti biar anak-anak saya suruh cari sumber baunya terus ngepel di sekitar meja saya. Tapi pas pelajaran dimulai dan saya keliling di dalam kelas. Ternyata aroma pesing ini juga ada di belakang. Nggak hanya ada di sekitar meja saya.
Setelah diresapi lagi aromanya, aroma pipis ini terasa lebih menyengat. Sampai akhirnya, saya sadar. Oh, iya! Kelas enam kan kemarin-kemarin pelihara kucing!
“Kalian pada sadar nggak kalau kelas ini baunya pesing banget?!” Dari belakang saya mulai melakukan interogasi.
“Iya, Pak! Disini juga bau banget!” Febri yang duduk di samping belakang, mengakui ada aroma pesing yang sama seperti yang saya rasakan.
“Ini pasti gara-gara kucing nih!” Saya langsung to the point.
“Ayok, siapa ini yang mau tanggungjawab?!”
Anak-anak mulai menunjukkan sikap bangga terhadap budaya bangsa Indonesia dengan cara saling menuduh dan mencari kambing hitam. Mereka mulai berisik menyebut nama teman-temannya sendiri buat disalah-salahin.
“Udah cukup! Pak Edot nggak mau tahu, ya.. sekelas harus tanggung jawab! Nanti siang semuanya bersihin kelas, satu ruangan ini harus dipel semua!” Saya bersabda.
“Ah, nggak mau ah! Saya kan nggak ikut-ikutan melihara kucing!” Nizam menyampaikan protesnya. Sebuah protes yang tentu saja tidak mengubah keadaan.
“Nggak bisa! Harus ikut semua, satu kelas bersih-bersih! Kalau nggak mau bersih-bersih kelas berarti bersihin ruang kepala sekolah.”
Setelah saya lakukan investigasi, sepertinya hari Sabtu sebelumnya, anak-anak lupa ngeluarin kucing-kucing ini dari kelas. Kucing ini jadi terkunci sampai hari Senin yang bikin kucing-kucing ini ‘mau nggak mau’ jadi pada pipis dan eek di dalam kelas.
Saya pun segera meminta beberapa anak
buat beli wipol saschetan. Kemudian, anak-anak mulai bergerilya dengan alat
kebersihannya. Naikin kursi ke meja, ambil ember di toilet, ngisi air di ember,
pinjem sapu ke kelas sebelah, sampai nyapu ruang kelas dengan menggunakan sapu
yang kondisinya menyedihkan.
Setelah anak-anak mulai bersih-bersih kelas, ternyata di belakang pintu ada e’ek kucing yang nempel di tembok. Dibanding mikirin bagaimana caranya mindahin eek ini keluar kelas, saya lebih mikirin bagaimana ceritanya kucing ini bisa nempelin e’eknya di tembok.
Beberapa anak ada yang akting muntah-muntah keluar kelas, sepertinya sengaja biar nggak ditunjuk buat bersihin eek kucing yang ada di tembok. Sebagian lainnya langsung menolak secara terang-terangan. Sebagian lainnya, cuma bisa ngeliatin sambil tetap berusaha nyalahin temennya yang sengaja melihara kucing di kelas.
Sementara anak-anak pada ribut sendiri ngeliatin eek kucing di tembok. Tiba-tiba muncullah seorang juru selamat yang dengan mantapnya ambil tisu di meja saya lalu membersihkan eek yang ada di tembok untuk dibuang di tempat sampah.
Thalia memang luar biasa, meskipun cewek tapi nggak ada jijik-jijiknya sama sekali. Bahkan di belakang kelas yang juga ada aroma pesing sangat kuat, dengan santai Thalia rela menggosok bagian itu dengan mantap.
Proses bersih-bersih kelas ini berlangsung cukup lama, sekitar satu jam lebih. Kalau dilihat-lihat hasilnya, kelas emang jadi bersih banget. Cuma masalahnya, kalau diresapi lebih dalam, aroma pesing ini kadang masih muncul di saat-saat tertentu. Bahkan selama beberapa hari ke depan, aroma ini masih belum benar-benar hilang. Padahal perasaan semua kemungkinan yang jadi tempat buat pipis kucing sudah dibersihin, tapi kayaknya masih ada yang lolos.
Karena rasanya susah juga buat mendeteksi lebih dalam di mana pipis kucing yang sebenarnya, kecuali ada anak yang rela menggunakan hidungnya untuk mengendus lebih dekat setiap sudut kelas. Akhirnya solusi terakhir, saya meminta anak buat beli kopi hitam sachetan buat ditabur di pojok-pojok kelas buat menetralkan aromanya.
Hari-hari berikutnya, saya nggak melihat kucing-kucing ini lagi di kelas. Sepertinya anak-anak sudah nyerah dan tahu kalau ngurus peliharaan itu nggak gampang. Entah ada di mana kucing-kucing ini sekarang, semoga sih.. mereka selalu bahagia.
3 Komentar
Aduh gemas banget sih Bang Edot ceritanya tentang anak2 yg pelihara kucing.
BalasHapusTapi kayaknya anak2 emang gitu yaa... awal2 antusias, eh pas tahu bagian gak enaknya langung 'melarikan diri'.
Semoga kucing2 yg pad akhirnya gak tau kemana, tetap sehat.
Semoga ada yg berbaik hati buat ngambil dan melihara...
Bahahahahaa... Drama Perkucingan yaa..
BalasHapusAku di rumah sering ngasih makan kucing-kucing liar. ada kali 5 ekor. dan mereka suka 'eek di tanah depan rumah. Kayanya aku hampir tiap 2 hari sekali deh gerukin tanah buat ngubur eek kucing. wkwk 🤣
Jadi Kak Edot udah kasih penghargaan untuk Thalia belum? Jasanya besar sekali Thalia ini 😭. Aku pun jadi kebayang gimana cara si kucing eek di tembok 😭 mungkin dia lupa jongkok pas eek jadi langsung mengarah ke tembok 😭.
BalasHapus