Sebenernya udah lumayan lama saya ngirim cerpen ini ke redaksi majalah Putra Cendekia, kalo nggak salah sekitar sebulan sebelum lebaran. Berharap setelah lebaran, saya bisa dapat kabar kalau cerpen saya berhasil dimuat. Sayangnya, waktu saya ngecek edisi majalah ini setelah lebaran, ternyata hasilnya 'zonk'. Nggak ada cerpen saya di majalah ini, begitu juga dengan bulan berikutnya, waktu saya cek isi majalahnya, nggak ada nama saya lagi.
Akhirnya, ya... yaudah, mungkin cerpen saya memang belum layak terbit. Nanti saya tinggal nyoba nulis lagi dengan tema yang lain kalau pas lagi mood. Cerpen ini juga masih bisa masuk arsip di laptop saya, karena rencananya suatu saat saya pengen bikin buku yang isinya kumpulan cerpen anak dari tulisan saya sendiri. Sebelumnya, cerpen saya juga pernah dimuat di majalah Putra Cendekia, tulisannya bisa dibaca disini -> Buku untuk Vio
Nah, pagi tadi waktu lagi mau siap-siap daftarin anak kelas enam ke SMP lewat online, saya ngeliat majalah Putra Cendekia edisi bulan Juni udah datang dan tergeletak di meja guru. Iseng-iseng saya buka halaman demi halaman, dan... akhirnya~ ternyata cerpen saya baru dikasih kesempatan setelah menunggu tiga bulanan.
Mungkin karena biar pas kali ya momennya, di bulan ini ada hari lingkungan hidup sedunia yang diperingati pada tanggal 5 Juni. Cerpen saya yang judulnya 'Berkah Bank Sampah' jadi ada bau-bau lingkungan hidupnya.
Oh iya... setelah saya baca, ternyata ada beberapa tulisan yang dipotong dan juga diedit sama pihak redaksi. Nggak apa-apa sih, kalau emang biar lebih enak dibaca. Nah, di blog ini mau saya share cerpen saya versi yang belum diedit. Kali aja yang gabut mau baca:
BERKAH BANK SAMPAH
Suasana ruang kelas 5 SDN 03 Saradan mendadak berubah riuh ketika Bu Aropah menuliskan kata ‘Bank Sampah’ di papan tulis. Zain, yang duduk paling depan mengangkat tangannya dan bertanya kepada Bu Aropah, “Bu, kenapa sampah harus dimasukkan ke dalam bank? Bukannya bank untuk menyimpan uang?”
Dwi, sang ketua kelas juga tak kalah heran, “Bu, bukannya sampah itu bau dan kotor, kok ditabung?”
Bu Aropah tersenyum kemudian meletakkan telunjuk kanannya di depan bibir tanda agar anak-anak diam. Bu Aropah menjelaskan, “Anak-anak, kalian mungkin heran ada sampah bisa ditabung, dimasukkan ke dalam bank. Terus bank mana yang menampung sampah?”
Anak-anak terlihat serius memerhatikan penjelasan dari Bu Aropah karena penasaran.
“Bank sampah itu, sebutan untuk tempat menyimpan sampah yang telah dipilih-pilih sampahnya. Karena kita di lingkungan sekolah, biasanya sampah yang paling banyak itu sampah plastik bekas jajan kalian dan juga sampah kertas. Nah, nanti sampah-sampah ini kita kelompokkan sesuai dengan jenisnya. Sampah plastik sendiri, sampah kertas sendiri.”
Tati, yang duduk paling belakang menyela penjelasan Bu Aropah, “Bu, terus nanti sampahnya dibawa ke bank mana? Memang ada bank yang mau menyimpan sampah? Kok saya nggak pernah tahu.”
Bu Aropah mengangguk-angguk, “Nak Tati, bank sampahnya tentu beda dengan bank untuk tempat menyimpan uang. Bank sampahnya, nanti ya, di sekolah kita ini. Kita buat bank sendiri. Kita manfaatkan tempat di halaman belakang kelas kita.”
Seolah belum puas dengan jawaban Bu Aropah, Tati kembali bertanya, “Kalau sudah banyak sampahnya buat apa memangnya, Bu?”
“Nah, pertanyaan bagus, kalau sudah banyak untuk apa? Ada yang bisa menjawab?” Bu Aropah balik bertanya kepada anak-anak kelas lima.
Sofiyah mengangkat tangan, lalu menjawab, “Kalau sudah banyak, sampahnya bisa dijual ke tukang loak, Bu! Lumayan bisa dapat uang!”
Zain ikut nyeletuk, “Kalau sudah dapat uang, uangnya bisa buat beli jajan lagi, kan nanti dapat sampah plastik lagi!”
Anak-anak sekelas tertawa. Bu Aropah kemudian menengahi, “Jawaban dari Sofiyah betul sekali, ide dari Zain juga bagus. Tapi kalau misal dapat uang bukankah lebih baik digunakan untuk membeli kebutuhan kelas kita biar semua merasakan manfaatnya? Setuju?”
“Setuju, Buuu….” Anak-anak kompak menjawab.
“Nah, siapa lagi yang bisa membantu menjawab manfaat bank sampah?”
“Karena kita jadi rajin mengumpulkan sampah, lingkungan sekolah kita pasti jadi lebih bersih, Bu!” Inok menjawab mantap.
“Bagus sekali, Nak Inok!” Bu Aropah memberi dua jempol pada Inok.
“Satu lagi, siapa yang bisa menjawab?” Bu Aropah kembali menawarkan anak-anak untuk menjawab.
“Bu, sampah-sampah plastik itu nantinya bisa dibikin kreasi!” Adha semangat menjawab.
“Iya, betul Nak Adha. Sampah-sampah ini, setelah dipilih-pilih bisa digunakan untuk membuat bermacam-macam kreasi. Anak-anak siap kan? Mulai besok kita akan mengumpulkan sampah di bank sampah milik kita?”
“Siaaap, Buuuu….” Anak-anak menjawab kompak.
***
Tak disangka, sebulan kemudian bank sampah milik anak kelas lima terkumpul lebih dari yang dibayangkan. Selama ini memang anak-anak terlihat antusias mengumpulkan sampah sesuai tempatnya, tidak hanya milik sendiri, anak-anak juga rajin memungut sampah-sampah yang tercecer untuk diletakkan di bank sampah belakang kelas. Hasilnya, lingkungan sekolah jadi telihat lebih bersih.
Anak-anak dari kelas lain yang tertarik melihat kebiasaan baru anak kelas lima juga ikut mengumpulkan sampah plastik dan kertas di bank sampah kelas lima.
Setelah dipilah-pilah, sebagian sampah dijual ke tukang loak, sebagian lagi disimpan Bu Aropah untuk digunakan membuat kreativitas dari bungkus plastik bersama anak-anak nanti.
***
Suatu pagi, Bu Aropah masuk ke dalam kelas dengan membawa sebuah kotak kardus yang sudah dilapisi kertas kado. Setelah mengucapkan salam dan kabar kepada anak-anak, Bu Aropah membuka kardus tersebut dan anak-anak langsung riuh dan berdecak kagum.
“Ini adalah hadiah untuk anak-anak yang sudah semangat mengumpulkan sampah di sekolah selama satu bulan ini.”
Bu Aropah menunjukkan lebih jelas ke anak-anak sebuah jam dinding berbentuk lingkaran bergambar foto anak-anak kelas lima. Selain itu, ada juga kalender yang diisi dengan foto kegiatan anak-anak selama mengumpulkan sampah.
“Karena kebetulan ini masih di awal tahun, jadi Bu Aropah sengaja memesan kalender dengan diisi foto anak-anak kelas lima yang hebat. Yang sudah membantu menjaga kebersihan kelas dan sekolah. Selama ini Bu Aropah sengaja memotret kalian diam-diam untuk dimasukkan di kalender ini. Selain itu, jam dinding ini, tidak hanya bermanfaat untuk menunjukkan waktu, tapi juga menunjukkan kekompakan dan kerja keras kalian selama ini. Dan, yang lebih penting lagi adalah… kalender dan jam dinding ini, ibu beli dengan menggunakan uang hasil semangat kalian mengumpulkan sampah. Tepuk tangan dong, buat kita semua!” Bu Aropah tersenyum bangga.
Anak-anak serentak teriak, “Yeaaaaay” sambil bertepuk tangan. Mereka sangat bahagia melihat hasil kerja kerasnya selama ini bisa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kelasnya.
Ah,
mereka jadi tidak sabar untuk mulai mengumpulkan sampah lagi untuk ditaruh di
bank sampah belakang kelas.
3 Komentar
Bangga banget sama Bang Edotz. Ternyata masih suka nulis sampai sekarang. Dulu aku selalu nungguin kisah-kisah Bang Edotz bareng murid-muridnya yang ajaib, haha. Semoga makin sukses ya, Bang :D
BalasHapusWah, siapapun kamu... makasih yaaa, semoga sukses juga😁
HapusAmazing and Unique Post. Keep writing and inspiring.
BalasHapusBoosting Hub