Waktu kepala sekolah saya yang baru, tahu kalau saya hobi nulis, beliau mengenalkan saya pada sebuah majalah anak yang wajib jadi langganan di setiap sekolah dasar di kota Pemalang. Namanya majalah Putra Cendekia. Beliau bilang, “Pak Edot, njenengan kenapa nggak coba ngirim tulisan ke majalah ini aja? Kan lumayan tulisannya udah ada yang nyetak.”Beliau pikir, tulisan yang terbit di majalah prosesnya sama seperti tulisan yang jadi buku.
Saya yang penasaran, nyamperin meja kepala sekolah dan meminjam majalah tersebut. Lalu membuka halaman demi halaman. Kesan pertama saya adalah majalahnya bagus, full color dan banyak cerita pendek serta dongeng buat anak-anak. Ya, mirip-mirip sama Majalah Bobo lah.
Tapi berhubung saya belum pernah nulis cerpen buat anak dan selama ini yang saya tulis tentang anak-anak justru aib-aibnya, tentu saja saya sama sekali nggak kepikiran buat nulis cerpen anak yang mengandung pesan moral dan secara sadar ngirim tulisan saya ke redaksi majalah yang sedang saya pegang ini.
Karena nggak mungkin saya menolak kepala sekolah secara terang-terangan dengan jawaban, “Hahaha... nggak mungkin lah bu, saya nulis cerpen anak. Saya aja moralnya mengkhawatirkan. Masa sok-sokan ngasih pesan moral buat anak-anak. Bisa-bisa nanti saya malah kena somasi.”
Dengan penuh kesantunan, saya hanya menjawab, “Oh nggih bu, nanti saya coba lihat-lihat dulu majalahnya.”
Beberapa minggu kemudian, isi dari majalah tersebut ternyata sanggup mengusik hari-hari saya. Kalau dipikir-pikir, kayaknya saya perlu coba keluar dari zona nyaman deh, coba nulis cerpen anak nggak ada salahnya juga, kan. Saya jadi merasa tertantang untuk membuat tulisan yang bisa tembus di majalah ini. Kalaupun ditolak, ya nggak papa juga. Kan selama ini saya juga sudah biasa ditolak waktu ngirim naskah ke berbagai penerbit.
Nggak butuh waktu lama, cerpen pertama saya pun selesai. Saya ambil cerita yang intinya seorang guru tua sepedanya rusak, terus diservis di sebuah toko sepeda. Pak Guru tua ini nggak punya biaya buat membayar biaya servis sepedanya. Setelah beberapa hari datang lagi ke toko sepeda tadi, secara mengejutkan biaya servisnya justru gratis, karena ternyata pemilik toko sepeda ini adalah mantan muridnya dulu.
Setelah saya kirim ke redaksi majalah tersebut, beberapa minggu kemudian saya dapat balasan yang mengatakan kalau cerpen saya... ditolak. Hahaha... alasannya terlalu mengeksploitasi kemiskinan, nggak logis banget, masa guru bayar servis sepeda saja nggak mampu.
Padahal sih menurut saya, guru yang ekonominya memprihatinkan itu beneran masih ada loh, nanti kapan-kapan saya ceritain, deh. Balasan dari redaksi tersebut saya terima dengan legowo. Ya, berarti memang tulisan saya belum sesuai standar.
Beberapa bulan kemudian, waktu lagi ngeliatin rak buku sendiri. Saya jadi kepikiran mau nulis cerpen anak lagi tentang anak yang suka baca buku tapi nggak enak mau minta dibelikan buku sama orangtua karena orangtuanya terdampak aturan PPKM akibat Covid-19.
Tulisan itu saya buat nggak ada waktu satu jam. Setelah selesai, saya diamkan semalaman, besoknya di sekolah saya baca dan beberapa saya revisi kemudian saya coba kirim lagi ke redaksi tersebut. Anehnya, cerpen saya kali ini justru nggak ada balasan sama sekali dari redaksi majalah. Saya sampai kepikiran, ini cerpen saya sampai nggak, ya? Saya bahkan sampai membuka email lagi dan memastikan kiriman cerpen saya alamat email tujuannya sudah bener apa belum.
Dan di minggu kedua bulan Oktober ini, waktu lagi asyik nonton Netflix di ruang kelas, secara mengejutkan saya dikabarin salah satu rekan guru kalau saya dapat kiriman amplop coklat dari Majalah Putra Cendekia.
Saya pun buru-buru nerima amplop tersebut dan melihat isinya. Ada satu eksemplar majalah Putra Cendekia, surat pemberitahuan cerpen saya diterbitkan, dan juga honor tulisan saya dalam amplop putih berlogo Majalah Putra Cendekia.
Waaah... rasanya surprise banget! Padahal itu udah pertengahan minggu, dan harusnya saya udah ngecek duluan Majalah Putra Cendekia yang dibagikan di sekolah di awal bulan. Tapi berhubung nggak ada balasan email sama sekali saya jadi mikir kalau cerpen saya mungkin ditolak (lagi).
Yah.. mungkin bagi sebagian orang ini biasa aja. Tapi bagi saya, melihat nama sendiri muncul di sebuah majalah ternyata bisa bikin sumringah banget. 😁 setidaknya ini jadi pencapaian tersendiri bagi saya, kalau saya... ya, bisa nulis cerpen anak juga. Walaupun mungkin masih banyak kekurangan dan masih belum bisa dibilang sebagai tulisan yang bagus. Tapi dengan ini, saya jadi bisa lebih berani lagi untuk mencoba nulis cerpen anak lainnya.
Nah, buat yang mau baca cerpen saya yang dimuat di Majalah Putra Cendekia edisi Oktober tahun 2021, kalian bisa baca langsung di bawah ini:
Buku untuk Vio
Hari Minggu ini Vio hanya tiduran di kamar setelah selesai membantu ibu membereskan rumah. Mencuci piring dan menyapu halaman sudah diselesaikannya sejak setengah jam yang lalu. Sekarang, Vio tidak tahu harus mengerjakan apa lagi.
Saat memandang rak buku di kamarnya, Vio segera bangkit dan mendekat ke rak bukunya untuk melihat deretan judul buku bacaan di kamarnya. Sayangnya, dari sekian banyak buku bacaan yang berjejer, semuanya sudah selesai Vio baca. Bahkan ada beberapa buku yang sudah beberapa kali Vio baca.
Sebenarnya sudah lama Vio ingin membeli buku bacaan baru, tapi Vio nggak enak ngomong sama ayah. Vio sadar keadaan ekonomi oangtuanya akhir-akhir masih pas-pasan. Jualan ayam bakar ayah kadang masih sering sisa, dampak dari diberlakukannya PPKM yang membuat para pedagang harus menutup dagangannya lebih cepat karena di kota Vio diberlakukan jam malam. Itu artinya, baru sekitar pukul delapan malam ayah dan pedagang lainnya harus segera berhenti jualan.
Awalnya Vio sempat marah, gara-gara PPKM dagangan ayah sering masih banyak sisanya. Vio jadi teringat perkataan ayah pada suatu malam ketika Vio bertanya, “kenapa sih orang mau jualan saja dibuat susah?” Tapi dengan tersenyum ayahnya menjawab, “Mungkin ini yang terbaik, Vio. Biar orang-orang tidak banyak berkerumun di waktu malam hari. Jadi risiko penyebaran virus covid-19 tidak terlalu tinggi.”
“Tapi kan, jualan ayah jadi nggak laku kaya dulu, sering masih banyak yang sisa?!” Vio masih belum puas dengan jawaban ayah.
“Rejeki kan tidak hanya dari jualan di pinggir jalan saja, anak ayah dan ibu masih diberi kesehatan saja itu sudah termasuk rejeki yang luar biasa buat ayah.” Kata ayah sambil mengelus kepala Vio.
Vio pun tersenyum mendengar jawaban ayah, “Semoga ayah juga sehat terus, ya.” Kata Vio sambil berbalik dan mencium pipi ayah.
***
Saat sedang bingung menatap buku bacaan di kamarnya, tiba-tiba Vio mendengar suara Citra memanggil-manggil nama Vio dari depan rumah. Vio pun bergegas keluar kamar dan menemui Citra di teras rumah.
“Eh Vio, hari ini aku mau pinjam buku bacaan kamu dong, bingung nih mau ngapain? Daripada main HP terus, kata mamahku mending baca buku aja. Tapi buku bacaan di rumahku udah ludes tak baca semua.”
“Yaaah.. kok sama sih, Cit. Aku juga tadi lagi bingung ngeliatin rak buku aku. Niatnya pengen baca buku yang bagus tapi ternyata udah aku baca semua.”
“Jadi, belum ada yang baru lagi, ya Vi? Kirain kamu ada buku bacaan baru jadi aku bisa pinjem bukumu.” Kata Citra.
“Belum ada, Cit. Aku nggak enak sama ayah mau minta buku baru. Soalnya dagangan ayah nggak terlalu rame. Seringnya kalau pulang belum habis ayamnya.”
“Siapa yang tadi pengen buku baru tapi nggak enak sama ayah?” tiba-tiba ayah sudah berdiri di depan teras tersenyum melihat ekspesi Vio yang kaget.
“Eh, enggak kok Yah, nggak apa-apa.” Kata Vio menahan malu karena ayah mendengar percakapannya dengan Citra.
“Mumpung hari Minggu, gimana kalau Vio ikut ayah jalan-jalan? Sama Citra juga, jalan-jalannya juga nggak jauh-jauh kok, kan masih PPKM. Hehe...” Kata ayah sambil tersenyum tenang.
“Serius, Yah? Mau kemana sih emangnya?” Vio langsung antusias mendengar ajakan ayah karena Vio juga bosan di rumah nggak tahu mau apa. Pertanyaan Vio hanya dijawab senyuman penuh rahasia oleh ayah.
Bersama Citra, Vio membonceng ayah keliling kota. Sampai akhirnya, ayah menghentikan motornya di sebuah kios yang membuat Vio takjub.
Ayah menghentikan motornya di kios-kios yang berisi banyak tumpukan buku. Hampir semua toko penuh dengan aneka tumpukan buku.
Vio langsung takjub melihat deretan toko yang baru pertama kali ini didatanginya. “Ayah ini di mana, kok banyak tumpukan buku?”
“Kita lagi ada di kios-kios buku bekas. Di sini ada banyaaak sekali buku bacaan yang menyenangkan buat Vio sama Citra.”
“Jadi, ayah mau belikan buku buat Vio?” Kata Vio dengan mata berbinar.
“Iya, buat Vio dan juga buat Citra. Karena ini kios buku bekas, jadi buku yang dijual bukan buku baru seperti yang biasa ayah belikan buat Vio. Nah, karena namanya buku-buku bekas, jadi harganya sangat terjangkau. Jauh lebih murah dibanding buku baru. Tapi untuk isi ceritanya, sama saja. Sama-sama seru! Bagaimana? Walaupun buku bekas Vio sama Citra mau?”
Vio sama Citra mengangguk dengan penuh semangat bersamaan. “Nggak apa-apa, Yah... yang penting kan isi ceritanya. Vio udah boleh lihat-lihat belum, Yah?”
“Yaudah sana, jangan buru-buru ya... tetap jaga jarak dan jangan dilepas maskernya.” Kata ayah mengingatkan.
“Horeeee.... makasih Ayah.” Vio menjawab dengan penuh semangat
“Makasiiih ya, Om.” Citra juga penuh semangat.
Vio dan Citra pun segera menghampiri kios buku bekas terdekatnya. Memilih buku bacaan yang kelihatannya seru. Terbayang hari-harinya tidak lagi membosankan karena ada buku bacaan baru.
Vio jadi kepikiran buat menyisihkan uang jajannya dan kalau sudah terkumpul lumayan, Vio pengen beli buku bacaan dengan uangnya sendiri biar tidak terlalu memberatkan ayahnya.
Dalam hati Vio berdo’a, “Ya Allah.. semoga ayah selalu diberikan rejeki yang cukup setiap hari dan juga selalu diberi kesehatan.”
3 Komentar
Mas Edot, cool bangets 😍
BalasHapusJangan-jangan next time mas Edot akan jadi langganan penulis di majalah Putra Cendekia nih kayaknya 😆 By the way, cerpen yang menarik mas, dan sarat makna. Plus jadi pelajaran buat anak-anak yang baca, kalau kita bisa lho beli buku bekas, yang penting isinya sama 🥳
Dan untuk ayahnya Vio semoga laris manis dagangannya, mana tau ada kelanjutan cerita Vio dan Citra season 2 😆🍀 Thanks for sharing mas, ditunggu karya cerpen berikutnya 🎉
Eh demi apa aku baca ceritanya sampe ngezoom gambar di atas, baca sambil geser2 gambarnya sampe selesai😆 ternyata di bawah ada tulisannya jg yg lbh nyaman dibaca 🤣🤣🤣🤣
BalasHapusKereeen bangeet mas edooot. Selamaat yaaa! Pasti seneng banget yaa cerpennya bisa terbit. Apalagi keluar dr zona nyaman ternyata malah bisa keren bgd gt.. cerpennya jg bagus. Ngingetin aku sama cerpen yg suka ada di majalah bobo. 😁
Btw, gambar headernya baru nih mas edot? 😍 baguuus..
Keren banget! Walaupun sekarang apa-apa serba digital, tapi kalau karya kita dimuat di media yang dicetak tuh bikin bangga, Congrats mas Edot! Baca cerpen mas Edot aku jadi keinget sama komik Hai Miiko. Ide ceritanya simpel tapi penuh makna.
BalasHapus