Salah satu aturan ghaib tidak
tertulis bagi guru kelas enam di sekolah saya adalah bantuin daftar
siswanya yang kepengen masuk ke SMP. Ya, berhubung sekarang semuanya serba online
dan biasanya orangtua siswa di sini rata-rata pada nggak paham sama beginian.
Maka, guru kelas enam secara harfiah bisa diartikan juga sebagai tukang
daftarin online siswanya masuk SMP.
Beberapa bulan yang lalu, salah satu MTS Negeri di kota saya membuka pendaftaran siswa SMP via jalur prestasi. Syaratnya yang paling hakiki adalah fotocopy raport dari kelas lima sampai enam dibumbui dengan seleksi online yang nantinya para pendaftar akan diberi link untuk mengerjakan.
Antusias siswa kelas enam di sekolah saya alhamdulillah lumayan juga, ada ‘enam’ siswa yang berminat untuk daftar di MTS via jalur prestasi. Jadi awal ceritanya, waktu itu saya lagi asyik menyimak orang berantem di Twitter sambil dudukan di kantor, seketika ada beberapa orangtua siswa yang datang ke sekolah, mengetuk pintu kantor, lalu masuk setelah sebelumnya melepas sandal dulu. Padahal sandalnya dipakai aja kan, gak papa bu.. wong ini sekolah bukan musala.
Para ibu-ibu ini mengutarakan maksud dan tujuannya untuk meminta restu dari saya biar anaknya diberi kemudahan mau daftar di MTS yang alasan politis sebenarnya adalah menambah beban kerja saya karena saya diminta buat bantuin daftar online. Walaupun ya.. lebih tepatnya adalah diminta daftarin, karena kalau bantuin sih orangtua siswa masih ada campur tangannya dikit. Tapi ini semuanya sudah jelas bakalan saya semua yang ngurusin.
Iya, nggak papa kok.
Sambil menyanggupi permintaan sepihak dari para orangtua siswa. Saya juga mengingatkan kalau jalur prestasi ini nggak mudah karena udah jelas saingannya dari seluruh sekolah dasar se-kota Pemalang. Jadi, orangtua siswa juga harus siap dengan kemungkinan terburuknya seandainya anak-anak nanti tidak diterima, mereka harus legowo.
“Ya nggih Pak Edot, namine ikhtiar nggih... kulo sih wong lare kepengene teng MTS. Sebagai orangtua sagede mung ndukung kalih ngusahaake.” Kata salah satu orangtua, sambil diiringi angguk-angguk berjamaah dari orangtua siswa lainnya yang hadir di kantor.
(Ya iya Pak Edot. Namanya ikhtiar ya... saya sih karena anak pengennya di MTS. Sebagai orangtua bisanya cuma mendukung dan mengusahakan.)
Saya juga ikut manggut-manggut, dalam hati berkata, “Betul bu.. mengusahakan hadir ke sekolah sebagai ikhtiar minta do'a restu, atau mungkinlebih tepatnya meminta guru kelasnya yang mengusahakan buat daftar ke MTS. Saya pengen geleng-geleng kepala, tapi saya tahan pakai ibu jari tangan kiri.
Iya, nggak papa kok.
Hari-hari berikutnya, saya jadi bongkar-bongkar raport anak-anak yang mau daftar, misahin rapot kelas lima dan enam buat di-scan satu-satu. Diiringi dengan kartu NISN, Kartu Keluarga, Akte Lahir serta foto. Ngg... btw, ini kok melelahkan juga ya~
Udah gitu, ternyata... masing-masing anak harus didaftarkan dengan e-mail yang berbeda. Maka, dengan hati sangat riang saya membuatkan e-mail anak-anak satu per satu. Saya membuatkan e-mail lagu anak-anak sambil nyanyi Mars Perindo biar lebih bahagia.
Beberapa hari kemudian, tiba
waktunya anak-anak buat mengerjakan tes online. Tentu saja, anak-anak
tidak mungkin mengerjakan sendiri di rumah. Maka, pagi itu enam anak pemburu
MTS jalur prestasi sudah duduk manis jelalatan di ruang kelas
satu. Selain untuk numpang wifi yang kecepatannya hanya 3 MbPs. Juga untuk
meminta saya ngajarin soal-soal seleksi. Ngg... mungkin bukan ngajarin, tapi lebih
tepatnya ngerjain soal-soalnya. Mereka hanya tinggal nyalin jawaban di HP-nya
masing-masing.
Sambil nunggu saya datang ke kelas, mereka nggak ada inisiatif-inisiatifnya buat belajar tapi malah mabar game online. Sebuah ikhtiar yang sungguh terpuji.
Berhubung waktu itu di sekolah masih ada rapat. Saya baru nyusul nemuin anak-anak sekitar pukul sepuluh. Tinggal sejam lagi waktu anak-anak untuk selesai mengerjakan. Setelah saya cek, alhamdulillah.... masih banyak banget yang belum pada diisi, atau malah kayaknya belum ada yang diisi. Ya, segampang itu mereka menyerahkan beban hidupnya pada saya.
Pada akhirnya, satu per satu saya coba mengerjakan soal ujian yang ada di HP mereka, nggak jarang saya harus berselancar ke Google karena pertanyannya yang cenderung berbau kesesatan. Meski sempat frustasi karena waktu yang mepet dan soal matematikanya bikin pengen nyundul yang bikin soalnya. Akhirnya keenam anak ini sukses ‘submit’ jawaban mereka.
Selanjutnya, mereka pulang ke rumah sambil kayang, tinggal nunggu pengumuman. Saya sih, udah nggak terlalu mikirin, karena yang namanya rejeki nggak akan kemana.
Sampai pada suatu hari... pengumuman seleksi jalur prestasi ini diumumkan. Dengan penuh kesantaian saya download pengumumannya, saya lihat nama sekolah saya mengajar, halaman demi halaman dan oh... nggak ada. Berarti anak-anak nggak ada yang diterima.
Iya, nggak papa kok.
Saya pun memberi kabar tidak bahagia ini ke masing-masing orangtua lewat WA sambil dibumbui beberapa petuah bijak kalau kegagalan ini bukanlah akhir dari segalanya. Terus, udah... tugas saya (harusnya) selesai.
Kenyataannya, ternyata nggak sedamai itu. Ada beberapa orangtua siswa yang balesin WA bilang, “Loh Pak, kok bisa ya nggak ada yang keterima?”
Waktu baca WA itu, dalam hati saya, “Lah mana saya tahu, bu? Kan saya bukan panitianya.”
Belum sempat bales, masuk lagi pesan WA.
“Padahal SD sebelah ada 5 anak
yang diterima loh, Pak. Kok SD kita nggak ada yang diterima sama sekali.”
“Padahal Abdul sama Anjas kan
pinter, Pak. Kok bisa nggak keterima sih?”
Sambil menghirup napas panjang, saya jelasin, “Ngapunten saya nggak tahu, bu. Coba ditanyakan saja ke sekolahnya langsung. Saya kan bukan yang buat pengumumannya. Terus ini kan, jalur prestasi bu. Yang diambil bukan hanya dari tes online yang kemarin. Tapi juga ada rata-rata nilai raportnya, makanya kemarin pas pendaftaran disuruh melampirkan raport dari kelas lima sampai kelas enam.”
“Tapi satupun kok nggak ada yang masuk Pak?”
Sudah dijelasin panjang lebar ternyata ibu ini masih belum paham. Belum selesai mengedukasi orangtua siswa yang satu ini. EH, ada WA lain masuk lagi.
“Pak, di pengumuman kok namaku nggak ada, Pak? Berarti aku keterima nggak Pak?”
Salah satu siswa ternyata langsung WA ke saya, padahal kesimpulannya sederhana, kalau nggak ada namanya ya nggak lulus. Akhirnya saya balas dengan penjelasan seperti tadi.
Dan dibalas lagi, “Gimana sih Pak, kok bisa nggak lulus? Kan kemarin udah dibantuin Pak Edot ngerjainnya? Coba dicek lagi barangkali masih ada lainnya, Pak. Masa sih aku nggak lulus, Pak.”
Waah... kok jadi panjang ya urusannya~
Saya tetap coba jelasin kalau itu artinya nggak lulus, dan nggak usah khawatir nanti masih ada pendaftaran di SMP negeri pakai jalur zonasi.
Dibalesin lagi, “Memang Pak Edot mau tanggung jawab kalau aku pasti bakalan diterima di SMP negeri? Siap nggak?”
Hai, Anak muda~~~ yang sedang kamu kirimi chat WA itu gurumu loooh~ nyantai banget ngomongnya pakai disuruh tanggung jawab segala. Tanggung jawab Pak Edot sama keluarga udah berat loh, ditambah tanggung jawab sama Allah, tanggung jawab nyicil Spaylater juga. Ini ditambahin tanggung jawab lainnya.
Duh... karena kalau ditanggepin bakalan nggak kelar-kelar, akhirnya saya diemin aja dulu.
Sampai beberapa saat kemudian, datang lagi WA.. “Pak, besok aku ke sekolah, mau cabut berkas pendaftarannya aja. Soalnya udah nggak diterima.”
Saya mikir lagi, apanya yang mau dicabut.. ini pendaftarannya online, belum ada ngumpulin berkas fisik ke MTS. Mengingat edukasi ini butuh tenaga ekstra, akhirnya saya minta aja mereka buat ke sekolah biar tak jelasin langsung.
Besoknya, pas di sekolah waktu saya cerita ini ke sekolah berharap dapat support, kepala sekolahnya malah bilang, “Atau njenengan kemarin kirim jawaban anak-anak terlambat Pak? Soalnya waktunya mepet banget kemarin, kan?”
“Ngapunten bu, itu anak-anak tesnya pakai Google Form. Kalau tulisannya sudah berhasil terkirim berarti sudah terkirim, bu.”
Tapi waktunya mepet sih, terakhiran...
jangan-jangan karena kirim jawabannya terakhiran jadi urutannya anak-anak juga
terakhiran. Tahun kemarin SD sini tiga orang bisa masuk loh, tahun ini bisa
nggak ada. Harusnya kemarin anak-anak difasilitasi laptop Pak. Jangan pakai
HP.”
Sepertinya yang perlu diedukasi bukan cuma orangtua siswa dan anaknya.
Ada banyak sekali hal yang ingin saya jelaskan. Namanya seleksi jalur prestasi, kemampuan anak tiap tahun pasti beda, nilai raportnya juga pasti beda. Namanya Google Form kalau sudah tersubmit ya berarti sukses terkirim, kirim mepet batas waktu ya nggak masalah. Namanya seleksi online, meskipun pakai HP kalau masih bisa connect internet ya nggak papa juga, nggak harus pakai laptop. Oh iya, waktunya mepet juga kan karena kepala sekolah sendiri yang ngajakin rapat.
Tapi pada akhirnya saya lebih milih senyum aja sih, menjelaskan sesuatu sama orang yang sudah banding-bandingan sama masa lalu kayaknya sebener apa bakalan tetap nggak bener. Saya lalu nyeletuk, “Ya... namanya belum rejeki bu, barangkali nanti rejekinya di SMP negeri.”
Hari itu saya sudah memutuskan, kalau tahun depan misal ada permintaan pertolongan seperti ini lagi saya bakal.... bakal, apa ya? Yaaah... bakal saya bantuin juga sih.
Iya, nggak papa kok.
23 Komentar
Kok aku habis baca ini malah jadi gemes sendiri Kak 😂 untung aja ketemunya guru seperti Kak Edot yang suabar banget seperti ini. Sabar ya Kak Edot 😂😂
BalasHapusIya sih, saya juga aslinya gemes banget. Akhirnya jadi cubit pipi sendiri saking gemesnya 😁
Hapushahahaha yaampun sorry ya mas aku jadi pengen ketawa 😂 nggak maksud ketawa di atas penderitaan org lain kok sungguh hihi
BalasHapuskayaknya jadi guru emang haus extra sabar ya. bukan cuma pas ngajar di kelas, tapi juga di luar apalagi berhadapan sama wali murid yang seolah-olah semuanya udah jadi tanggung jawab guru. huft, padahal kan ortu juga punya andil anaknya gimana 👀
untunglah Mas Edot sabar. kalo aku yang jadi guru mah, udah ngomel duluan kayaknya 🤣
Iya Mbak Dea, secaru hierarki sih harusnya ortu dulu yang ngurusin pendaftaran anaknya. Tapi karena ketidakmudengan dan bagian dari usaha ya minta tolongnya sama guru kelas enamnya 😁
HapusSabar di depannya aja Mbak, aslinya kayak ibunya Nene di crayon shinchan, bawa boneka masuk WC terus digebukin 😆
Ternyata bukan cuma murid dan wali muridnya saja yang harus diberikan edukasi, tapi juga...😂
BalasHapusBerat juga ya pak jadi wali kelas. Jadi wali kelas tiga harus siap kalo nanti masih ada yang belum bisa baca tulis, hingga bimbang apakah harus naik atau tidak, belum lagi kalo ada yang buang aroma tak sedap di kelas.😂
Eh jadi wali kelas enam juga sami mawon, harus daftarkan muridnya ke sekolah favorit, baik ke MTS atau SMP negeri. Mending kalo cuma daftarkan doang, ini masih harus sibuk ini itu.
Yang sabar ya pak guru.😃
Tahun depan ada ujian lagi.😄
Hahaha
Hapusiya emang ada di kelas berapa aja ada aja tanggungjawab yang harus diurusin 😁
Nah ini, tahun depan bisa terulang lagi 😅
He he ... Udah lillahitaala membantu, malah bikin pusing. Ya begitulah berurusan dengan masyarakat awam. Kepsek pun peru diedukasi keknya. Selamat siang, Pak Edot. Terima kasih telah berbagi pengalaman. Salam sehat untuk keluarga di sana ya.
BalasHapusIya bu, padahal lebih sejuk kalau pada bilang makasih duou ya 🤭
Hapussehat juga buat keluarga di sana Bu Nur ..
Sabar ya Pak Edot, sabarnya harus digedein lagi buat tahun depan. xD Semangat terus~~~ btw aku ngakak baca ceritanya, nggak kebayang gimana gemesnya ngadepin bocil satu yang wa-nya kayak gitu, kalo aku udah aku jitak anaknya. xD
BalasHapusHaha moga tahun depan ketemunya sama ortu siswa yang lebih ngerti keadaan 😁
HapusIya emang bocil jaman sekarang bawelnya bikin pengen jitak tapi nggak tega 😁
Astagaa gemes sendiri baca WA si anak yang satu itu wkwkwk kok yaa dewasa sekali kamu Nak 😌
BalasHapusJadi guru itu beneran harus bisa banyak-banyak bersabar yaa Mas Edot? Bukan cuma ngadepin anak murid tapi juga orangtuanya yang kadang ngeyel hadeeh kalau saya kayaknya udah keluar asap dari ubun-ubun 😂
Iya emang mbak Eya, anak jaman sekarang selow2 banget sama gurunya 😆
HapusEmang beneran harus sabar dan selalu pake topeng senyum 😄
Semangat Pak Guru. Sungguh sharingnya unik dan sedikit kocak juga. Ada-ada saja memang orang tua kita ini. :)
BalasHapusSiaap Mas ...
Hapusiya nih, emang unik2 banget 😁
Ternyata gak habis2 ya murid kayak gini hahahaha.
BalasHapusYang sabar ya mas.
Kalo saya yang digituin gak tau udah kayak gimana.
Udah hilang kayaknya rasa sabar wkwkwkw
Kayaknya emang selalu ada yang kayak gini mas 😁
HapusEmang harus latihan sabar terus juga 😁
Aduhh maafin kalau aku malah ketawa Mas Edot 😅😅.. Astaga.
BalasHapusItu muridnya juga. Ajaib banget ya.. untung Mas Edot orangnya sabar. Jadi kerasa nikmatnya,, ehh kerasa nikmat kan ya Mas?? Wkwk 😁😁
Semngat Mas. Dan Sehat selalu pastinya,.
Iya emang ajaib2 banget anak jaman sekarang ... 😄
Hapusalhamdulillah selalu dinikmatin 🤭
sipp makasih, sehat selalu juga mas 😁👍
Hahahahaa.. Aku beneran kebayang itu gimana kondisinya. Emang sih, masih banyak orang yg tak erlalu faham mengenai hal semacam ini. Gak hanya orang tua yg dari SD ke SMP. Beberapa tahun yg lalu, ketika hendak mendaftar kuliah, banyak jg orang tua murid yg tak faham metode onlen onlen seperti ini, yg akhirnya menyusahkan orang lain, yg sebenernya ga ada hubungannya. hehehe
BalasHapusBtw, semangat kak Edotzz.. 😁😁
Iya banyak ortu siswa yang juga butuh bimbingan buat online beginian..
Hapusdibilang nyusahin ya gimana ya... makasih udah mewakilkan hahaha
tapi gapapa sih, kalo saya bisa ya dibantu..
semangat juga 'Kak' Dodoo😆
paling kesel bisa bisanya protes ga keterima padahal ia sendiri leha leha mabar online. Duh, kalo setidaknya ga ada usaha, gausah lah nyalah nyalahin orang lain. Semangat pak edot (meredam perasaan ingin memaki)
BalasHapusMas kamu tuh baik bangetttt yaaa :D. Kalo aku jadi gurunya, balas aku semprot itu anak2 hahahahah. Kenapa jadi gurunya yg ngajarin .. nyalahin pula ujung2nya. Pengen tak sentil...
BalasHapusDan sedihnya, ga ada support dari si kepsek . Maksud dia, sebagai guru harus bantuin jawab supaya mereka lulus dan nama sekolah bisa harum gitu ?? Ihhhhh *janganemosi......
Sabar mas edot, kamu bener2 guru favorit memang :D.
Ahahahaha aduh jarang-jarang ke sini, sekalinya ninggalin komentar malah ngetawain yang empunya blog XD maafkan aku, Mas Edot. Tapi kau baik dan sabar sekali sebagai guru. Kalau aku yang jadi gurunya, fix aku nangis di tempat karena nggak tahu musti gimana lagi 😂
BalasHapus