Setelah sekian lama lupa akan
sensasi menghadapi fenomena anak yang e’ek di celana. Kali ini saya dipaksa
untuk mengingat kembali semua itu setelah satu bulan kemarin ada dua anak yang
secara sukarela mengingatkan saya agar saya tanggap terhadap hal-hal yang berbau
e’ek di celana.
Kasus yang pertama
Terjadi pada suatu siang
menjelang istirahat yang kedua. Seorang anak laki-laki seukuran Daus Mini
tatapannya kosong dan enggan beranjak dari tempat duduknya. Sebut saja Fahri,
anak kelas tiga yang sehari-harinya pendiam dan suka bermusyawarah ini, siang
itu terlihat lebih diam dari sehari-harinya.
Berbeda dengan insiden ‘siapa yang kentut?’, di mana yang
kentut biasanya justru yang berteriak
paling lantang mengatakan, “Woy.. siapa yang kentut nih? Bau banget sumpah! Pasti kamu,
ya?!” sambil tangan kiri nutupin hidung, tangan kanan nunjuk temannya.
Perkara e’ek di celana memang jauh lebih
krusial dari kentut-mengentut karena orang yang e’ek sudah pasti tidak bisa
berteriak lantang sambil nuduh yang lain karena tingkat baunya jauh lebih
tinggi, dan tentu saja yang nuduh nggak bisa bangkit dari tempat duduknya sambil
nunjuk temennya karena pasti akan terlihat jelas noda yang tercipta di celana
bagian belakangnya.
Begitu juga dengan Fahri, yang
siang itu lebih memilih diam. Ya... mungkin sedang fokus mencari jalan keluar untuk
masalah e’ek yang sedang dihadapi. Mau lari ke toilet, rute perjalanannya
lumayan sulit, harus melewati beberapa tempat duduk yang dihuni beberapa siswa
lain, harus melewati pintu kelas yang juga sedang ramai oleh anak-anak, dan
tentu saja masih harus melewati lorong kelas yang masih ramai oleh anak-anak
kelas lain. Ini jelas rute yang jauh lebih sulit dibandingkan dengan rintangan Benteng
Takeshi.
Melihat situasi yang sulit itu,
Fahri pun lebih memilih pasrah... dan menangis. Iya, solusinya memang sederhana.
Menangis.
Hanya itu yang bisa dipikirkan oleh seorang anak laki-laki kelas tiga yang tidak tahu harus berbuat apa saat dirinya tidak bisa mengontrol e’ek di dalam perutnya yang harus keluar dengan tiba-tiba.
Hanya itu yang bisa dipikirkan oleh seorang anak laki-laki kelas tiga yang tidak tahu harus berbuat apa saat dirinya tidak bisa mengontrol e’ek di dalam perutnya yang harus keluar dengan tiba-tiba.
Beruntung, saat itu saya sedang
keluar karena harus memfotocopy soal ulangan. Tidak beruntung, Partner kelas
saya yang biasa disebut Pak Virgoun, harus turun gunung mengunjungi kelas
setelah mendapat laporan dari warga kelas akan datangnya aroma familiar yang
tidak nikmat dihisap dalam-dalam.
Btw, di sekolah saya memang ada
partner guru lain yang tugasnya untuk membimbing anak-anak sholat dhuha di pagi
hari dan sholat dhuhur sebelum istirahat kedua. Selain membimbing sholat, Pak
Virgoun juga bertugas mengajar mengaji dan hafalan surat pendek.
Begitu saya kembali ke kelas,
semua persoalan sudah berhasil diselesaikan dengan cantik oleh Pak Virgoun.
Fahri sudah mengenakan celana olahraga dan seragam batik kebesaran yang
merupakan pinjaman dari sekolah. Meskipun begitu, Fahri tetap terisak setelah
melihat wali kelasnya yang tidak berguna ini datang blusukan ke tempat duduknya
setelah semua persoalan selesai diatasi.
Akhirnya, saya pun menelepon
orangtuanya untuk meminta Fahri dijemput lebih cepat. Alhamdulillah, setelah bel pulang orang tuanya baru jemput ke sekolah. Keingina Fahri pulang lebih cepat tidak terkabulkan.
Kasus kedua
Pagi itu saya sedang menjelaskan
materi untuk persiapan menghadapi Ujian Akhir Semester. Tiba-tiba, salah
satu anak bergerak melata mendekati saya lalu untuk melaporkan ada salah satu warga kelas yang
terindikasi melakukan aksi e’ek di celana secara sadar.
Saya yang tidak mungkin menuduh
sang pelaku di depan umum karena khawatir mentalnya tercederai di-bully oleh warga lainnya. Berusaha
mendekat secara alamiah sambil menajamkan indera penciuman, dan... tepat! Saya
mencium aroma kegelisahan dari sang anak diiringi aroma busuk yang menampar
hidung!
Tidak butuh episode yang
berlarut-larut, semuanya sudah bisa dimengerti. Rafa, siswa yang lebih pendiam
dari Fahri, terbukti e’ek di celana, di dalam kelas dan di tengah jam pelajaran.
Tanpa memberi aba-aba terlebih dahulu.
Satu-satunya hal yang saya
pikirkan saat itu adalah bagaimana caranya saya mengevakuasi Rafa ke toilet agar tidak
menimbulkan kerusuhan di dalam kelas. Saya khawatir, Rafa, akan mendapat
persekusi dan teriakan warga kelas lain yang tujuannya memanas-manasi keadaan.
Mau saya gendong, takut e’eknya
jatuh di lantai. Mau saya gandeng, takut juga e’eknya tetap jatuh di lantai.
Kali ini situasinya tidak menguntungkan buat saya karena saya ada di dalam
kelas. Berarti, saya yang harus menangani semua ke-e’ek-an ini.
Langkah pertama, saya meminta
Rafa untuk ke toilet dulu dengan melangkah lurus tanpa menengok ke belakang. Masalah e’ek yang mungkin jatuh selama perjalanan
itu urusan nanti, saya masih bisa menyuruh anak-anak lain untuk membersihkan
kalau memang itu terjadi—yang tentu saja dengan sedikit paksaan.
Untungnya, Rafa cukup kooperatif
pagi itu. Rafa sadar dirinya butuh bantuan dan gurunya yang tidak berkarisma
ini sudah membukakan jalan untuknya melarikan diri ke toilet. Setelah Rafa
berlalu, saya bersabda di kelas, “Barangsiapa di kelas ini yang ketahuan
membully temennya yang e’ek di celana, niscaya adzab yang pedih akan menimpa
kalian.”
Saya diam-diam foto mereka pakai kamera HP yang sudah disetting keluar lampu kilatnya, sengaja biar anak-anak mengira itu petir kayak di sinetron adzab Indosiar. Anak-anak serempak bergidik ngeri.
Saya pun segera menyusul Rafa ke
toilet. Kebetulan Fahri sudah mengembalikan baju dan celana yang dipinjamnya
waktu itu. Begitu saya sampai, ternyata pintu toilet sudah terkunci. Saya hanya perlu menunggu di depan toilet sambil sesekali menahan nafas.
Ventilasi udara telah berhasil mengantarkan aroma e’ek Rafa pada hidung saya.
Hari itu saya sadar, semua e’ek
aromanya sama di hidung manusia. Sama-sama nusuk!
Rafa masih terdengar cebar-cebur
di dalam toilet sedangkan saya tidak mau sok-sokan jadi pahlawan yang membantu proses
Rafa membersihkan diri.
Saya hanya bisa memandu Rafa dari
luar, mengingatkan jangan lupa cebok yang bersih, e’ek yang menempel di celana
dibersihkan dan semua e’ek yang masih tersisa disiram sampai tandas.
Beberapa saat kemudian, Rafa membuka pintu tanpa rasa
bersalah sama sekali. Sesaat saya berpikir, enak banget ya jadi anak-anak bisa
e’ek di celana tanpa perlu menahan malu.
Saya melongok ke dalam toilet
untuk memastikan semuanya sudah beres. Ternyata, masih banyak e’ek kecil-kecil
bergelimpangan di lantai toilet. Aroma e’ek tidak henti-hentinya masih terus
memukuli hidung saya. Ternyata, nggak sekedar menahan rindu yang berat, tapi menahan
aroma e’ek juga berat.
Saya menyerahkan baju dan celana
ganti pada Rafa untuk digunakan sebagaimana mestinya. Tidak lama kemudian, Rafa
keluar dari kamar mandi sambil menenteng celana penuh e’eknya. Setelah saya
amati, ada satu hal yang kurang dari seragam Rafa.
“Rafa, celana dalam kamu mana?”
“Udah tak pakai, Pak” Rafa
menjawab dengan polos.
“Astaghfirullahaladziiiiiiim......” Saya geleng-geleng kepala
melihat kepolosan Rafa. Untung ini bukan iklan Ramayana, saya ngebayanginnya kalau Rafa yang e'ek di celana ini sedang berada di dalam iklan Ramayana, mungkin setelah ini bakalan ada adegan kepala emak-emak qosidahan keluar dari lubang kakus.
Dalam hati saya teriak, “Ya ampun Rafaaa... Percuma banget dibawain celana panjang
kalau akhirnya harus ditempelin sama sempak bekas taik lagiiiii....”
Ya... celana dalam bekas e’ek yang seharusnya dilepas dan diamankan, malah dipakai lagi
bersama celana baru yang saya bawakan. Percumaaaaa....
Udah gitu, setelah saya amati,
baju sekolah Rafa di ujung bawahnya bersinar kekuning-kuningan tanda e’ek sudah
mulai menguasai seragam sekolah Rafa.
Rafa cebok sendirian di toilet e'eknya sampai kemana-mana Ya Allaaaah....
Perjuangan panjang pun berakhir dengan remidinya Rafa di dalam toilet untuk membersihkan diri kedua kalinya.
Setelah itu saya minta plastik ke
koperasi sekolah. Dengan hati riang saya memasukkan baju dan celana bekas e’ek
Rafa ke dalam plastik karena celana baru yang saya bawakan sudah tidak berarti lagi
karena ketempelan celana dalam bekas e’eknya Rafa. Saya pun berinisiatif mengantar
Rafa pulang naik motor dengan mengikhlaskan jok motor saya ternoda oleh rembesan e'ek Rafa.
Pagi itu, saya serahkan Rafa ke orangtuanya untuk diganti pakaian lainnya yang bersih dan kembali ke sekolah.
Pagi itu, saya serahkan Rafa ke orangtuanya untuk diganti pakaian lainnya yang bersih dan kembali ke sekolah.
***
Pelajaran yang bisa diambil dari cerita kali ini adalah walaupun hidup kita dekat dengan
yang namanya e’ek dan aromanya sama-sama menusuk. Anehnya, entah kenapa kita
masih sering grogi kalau menghadapi e’ek yang bukan milik kita sendiri. Padahal
hampir setiap hari kita menghadapi hal itu, kan? Untuk hal ini sepertinya peribahasa
rumput tetangga tebih hijau daripada
rumput sendiri, tidak berlaku, ya.
3 Komentar
Anjiiir. Ya bener juga sih ya. Kalo eek di celana gak bisa pura2 nuduh orang kayak lagi kentut. :)))
BalasHapusHalo Para Players
BalasHapusKami dari Agent judi Online Terpercaya mariong.com
mariong.com menyediakan 4 permainan
Berikut permainannya :
* SLOT GAME
* TEMBAK IKAN
* LIVE CASINO
* TARUHAN BOLA
HUBUNGI KONTAK KAMI :
BBM : onglucky
Whatsapp : +60 17-602 5881
LINE : onglucky
WECHAT : website8899
kunjungi kumpulan video lucu kami ya :
https://funsticky.com
https://thoselab.com
Avail online 11+ tutoring in uk within the united states of America from our best writing experts. We provide a hundred% plagiarism free answer to your task. buy custom assignments prepared through professional writers of our corporation. Our online challenge writing offerings are private, dependable and useful.
BalasHapus